Download!Download Point responsive WP Theme for FREE!

Sering Memarahi Anak

Ibu pengasuh rubrik yang baik, saya memiliki dua anak. Pertanyaan saya, mengapa ya saya sering sekali marah-marah pada anak pertama saya, terutama untuk urusan belajar dan makan? Sampai-sampai saking seringnya saya marahi, telinga anak saya sudah kebal dan tidak mau lagi mendengarkan perkataan saya. Saya jadi khawatir dan merasa menyesal apakah perilaku saya yang suka marah-marah berpengaruh buruk pada perkembangan mental anak saya? Bagaimana ya Bu cara mengatasinya? Terima kasih atas jawabannya.

 Paulina, 35 tahun, Jakarta Barat

Salam kenal Ibu Paulina,

Sayangnya saya tidak mendapatkan informasi mengenai usia anak pertama Ibu, sudah duduk di bangku kelas berapa dan apakah anak Ibu perempuan atau laki-laki. Namun demikian, semoga jawaban berikut tetap dapat memberikan manfaat. Saya memahami bahwa Ibu merasa menyesal karena sering kali marah terhadap perilaku anak pertama Ibu yang terkadang tidak sesuai harapan.

Memang dalam menghadapi anak, sebaiknya yang perlu kita perhatikan terlebih dahulu adalah kondisi emosi diri kita sendiri. Karena kemarahan atau perilaku yang terjadi akibat rasa kesal yang kita rasakan dapat memberikan dampak yang tidak baik bagi kondisi emosi anak kita, seperti anak jadi mempelajari cara mengungkapkan emosi yang salah, yaitu marah dengan nada yang tinggi. Selain dapat meniru atau mencontoh perilaku marah orangtua, anak juga dapat merasa kurang percaya diri karena sering disalahkan. 

Sementara itu, sikap anak yang sepertinya tidak takut, tidak mau dengar, atau kebal, dapat terjadi karena anak ingin menunjukkan keberadaan dirinya atau karena anak mengetahui bahwa Ibu tidak konsisten dalam menerapkan aturan. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita sebagai orangtua untuk mampu menghargai kebutuhan anak tanpa menurunkan ketegasan kita dalam menerapkan disiplin yang tepat bagi anak.

Untuk mengatasi permasalahan di atas, fokuslah pada inti permasalahan. Dalam hal ini masalah belajar dan makan. Pertama permasalahan belajar. Ada berbagai macam persoalan berkaitan dengan belajar pada anak. Misalnya, tidak mau mengerjakan PR, sulit memahami materi, tidak mau mematuhi jadwal belajar di rumah, dan sebagainya. Ibu Paulina dapat mencatat persoalan apa yang dimiliki anak sehingga penanganannya dapat tepat dan terarah. Jika permasalahan yang terjadi adalah keengganan anak untuk belajar, Ibu dapat mengajak anak untuk berdiskusi mengenai jadwal belajar sehari-hari. Diskusi ini penting untuk dilakukan agar Ibu juga memahami perasaan dan kebutuhan anak. Misalnya ternyata anak lelah karena padatnya les atau jadwal belajar di sekolah. Jika demikian, maka jadwal belajar di rumah dapat disesuaikan dengan kebutuhan anak, misalnya setelah ia beristirahat atau tidak terus menerus belajar selama satu jam tetapi dibagi menjadi beberapa waktu belajar yang tidak terlalu lama namun memadai bagi anak untuk mempelajari materi.

Selain memperhatikan kebutuhan anak dalam belajar di rumah, Ibu juga perlu memahami gaya belajar anak. Ada tiga gaya belajar pada anak, yaitu visual, auditory, dan kinestetik. Anak dapat saja memiliki lebih dari satu gaya belajar.  Namun umumnya terdapat satu gaya belajar yang dominan pada anak. Untuk memahami gaya belajar anak Ibu dapat melakukan observasi sebagai berikut:

  1. Anak yang memiliki gaya belajar visual cenderung akan lebih menyukai gambar-gambar di buku, puzzle, tertarik pada warna dan bentuk suatu benda, suka menggambar dan mewarnai, lebih mudah mengingat apa yang pernah ia lihat, mengamati sesuatu untuk  mengenalnya atau  saat mempelajarinya.
  2. Anak yang memiliki gaya belajar auditory cenderung akan lebih menunjukkan perhatian jika ada suara yang ia kenal. Ia suka mendengarkan bercerita dan lebih mudah mengingat jika pernah diceritakan atau diberitahu atau mendengarkan sesuatu.
  3. Anak yang memiliki gaya belajar kinestetik akan menunjukkan kegemaran dalam berlari-lari, memanjat dan melompat. Anak terlihat senang menyentuh apapun dan lebih mudah mengingat apa yang telah ia lakukan

Setelah Ibu Paulina memahami gaya belajar anak, berikan materi pelajaran sesuai dengan gaya belajarnya. Misalnya jika anak memiliki gaya belajar kinestetik tentu sulit bagi kita untuk memintanya belajar dengan duduk tenang mengerjakan tugas. Sebaiknya berikan kesempatan pada anak untuk melakukan materi yang akan diajarkan tersebut. Misalnya dengan simulasi atau role play yang akan memudahkannya untuk mencerna materi pelajaran.

Kedua, permasalahan seputar kegiatan makan. Ada berbagai macam permasalahan makan pada anak. Ada yang pilih-pilih makanan, makan sangat sedikit, menolak makan, tekstur makanan tidak tepat, fobia makanan, gangguan emosional menghindari makanan bahkan ada juga yang sulit untuk berhenti makan yang dapat mengakibatkan obesitas. Sayangnya, saya tidak mendapatkan informasi permasalahan makan yang seperti apa yang terjadi saat ini. Meskipun demikian, sebaiknya Ibu mulai memusatkan perhatian ada 2 faktor utama yang dapat menyebabkan masalah makan pada anak, yaitu factor fisik dan non fisik. Faktor fisik dapat berupa sakit (flu, TB, sariawan, radang tenggorokan, dll), kelainan bibir dan lidah, kelainan metabolisme tubuh, kelemahan otot menelan,gangguan susunan saraf atau cacingan.

Jika terdapat faktor fisik dalam masalah makan pada anak Ibu, segeralah berkonsultasi pada dokter spesialis anak. Selain faktor fisik terdapat juga faktor non fisik, seperti anak sedang tidak bahagia, marah, tidak nyaman, sedih, bosan karena menu yang tidak bervariasi dan tidak menarik, sudah kenyang karena makan kudapan di antara jam makan, mengikuti pola makan orangtua, misal ada anggota keluarga yang diet atau tidak suka makan nasi, anggapan bahwa ‘gendut’ itu tidak menarik, menjadikan makanan sebagai hadiah (anak minta hadiah  terlebih dahulu apabila Ibu ingin anak makan). Sangatlah penting untuk mengetahui penyebab utama dari masalah makan pada anak Ibu agar tepat dalam menanganinya. Beberapa saran yang dapat Ibu terapkan adalah menyusun jadwal makan yang tepat, sehingga anak otomatis akan merasa lapar pada jam-jam tertentu, jadikan makanan yang tidak disukainya sebagai makanan pembuka ketika anak masih lapar, variasikan menu makanannya dan libatkan anak dalam proses membeli bahan, mengolah, dan mempersiapkan makanan.

Jika permasalahan yang ada tetap berlanjut, Ibu dapat berkonsultasi dengan Psikolog Anak secara langsung agar mendapatkan penanganan yang lebih utuh dan mendalam. Demikian uraian jawabannya,  semoga dapat diterapkan dan bermanfaat.

 

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *