Perawatan Anemia dan Rinitis untuk Peningkatan Kualitas Hidup Anak dan Keluarga
|Menyambut momentum Hari Anak Nasional, Merck, sebagai salah satu perusahaan ilmu pengetahuan dan teknologi terkemuka dalam bidang kesehatan, mengadakan Merck Pedriatric Forum 2018, sebagai salah satu wujud komitmennya untuk membantu meningkatkan kualitas kesehatan anak Indonesia. Diadakan tanggal 21 – 22 Juli 2018, kegiatan ini menjadi wadah bagi para praktisi medis Indonesia dan Filipina untuk berdiskusi mengenai penyakit anemia dan rinitis pada anak khususnya di Indonesia, secara umum di Asia Tenggara; termasuk cara mendiagnosis sekaligus tatalaksana perawatan kedua penyakit tersebut.
dr. Ashley Barrow selaku Regional Medical Director Asia Merck Consumer Health, mengungkapkan, “Merck Pediatric Forum 2018 merupakan kelanjutan dari kegiatan Merck Anemia Convention 2017 di Manila yang merupakan wadah diskusi mengenai anemia yang dihadiri oleh delegasi-delegasi dari Indonesia, Kanada, Austria, Jerman, dan Australia, serta para praktisi medis dari Asia Tenggara. Melalui Merck Pediatric Forum 2018, kami berharap dapat menjadi sarana berbagi informasi dan pembelajaran bagi para praktisi medis Indonesia mengenai penyakit anemia dan rinitis yang sering diderita anak-anak.”
Anemia pada Anak
Seperti yang sudah banyak diketahui, anemia merupakan kondisi ketika jumlah sel darah merah atau konsentrasi pengangkut oksigen dalam darah (Hb) tidak mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh. Orang tua seringkali tidak menyadari gejala anemia pada anak, sehingga terlambat menyadari kehadiran penyakit ini pada anak mereka. Gejala anemia pada anak seperti kehilangan selera makan, sulit fokus, penurunan sistem kekebalan tubuh dan gangguan perilaku atau orang awam lebih mengenal dengan Gejala 5L (lesu, lemah, letih, lelah, lunglai), wajah pucat, kunang-kunang.
Berdasarkan laporan Anemia Convention 2017, prevalensi anemia di Asia Tenggara dan Afrika mencapai 85%, dengan wanita dan anak-anak sebagai penderita terbanyak. Terdapat 202 juta wanita di Asia Tenggara dan 100 juta wanita di Pasifik Barat berusia 15-49 tahun yang terjangkit anemia. Sementara secara global, 41,8% wanita hamil dan hampir 600 juta anak usia prasekolah dan usia sekolah menderita anemia, di mana 60% dari kasus wanita hamil dan sekitar setengah dari kasus anemia pada anak disebabkan oleh kekurangan zat besi[1].
Tercukupinya nutrisi dalam 1000 hari pertama kehidupan merupakan kebutuhan mutlak bagi setiap anak, dan ini harus dimulai sejak bayi masih dalam kandungan. Ginekolog MA. Corazon Zaida N. Gamila, M.D., FPOGS dari Filipina mengungkapkan, “Peran Zat Besi sebagai salah satu Mikronutrisi yang dibutuhkan ibu hamil selama kehamilan yang menentukan kualitas kesehatan anak dimasa depan. Anemia Defisiensi Besi (ADB) pada ibu hamil meningkatkan risiko terjadinya pendarahan, pre-eklamsia, dan infeksi. Ibu hamil yang menderita ADB juga berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah, bayi dengan anemia ataupun kekurangan zat besi, bahkan kematian pada bayi.”
Dr. Murti Andriastuti Sp.A(K) selaku Ketua Satuan Tugas Anemia Defisiensi Besi, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang menghadiri Merck Pediatric Forum 2018 menjelaskan, “Anemia Defisiensi Besi (ADB) merupakan masalah kesehatan yang umum terjadi pada anak-anak. Komplikasi jangka panjang ADB dapat meliputi gangguan sistem kardiovaskular, sistem imun, gangguan perkembangan, psikomotor serta kognitif. Anemia sendiri dapat disembuhkan, namun komplikasi yang timbul dapat bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki. Untuk itu pemberian suplementasi zat besi sebaiknya dilakukan sejak dini, sebelum defisiensi besi pada anak menjadi Anemia Defisiensi Besi.”
Mengenal Rinitis Lebih Jauh
Selain anemia, penyakit lain yang juga dapat mempengaruhi kualitas kehidupan anak adalah rinitis. Rinitis merupakan radang selaput hidung yang biasanya disebabkan oleh common colds atau flu dan alergi. Di Indonesia, prevalensi rinitis mencapai 24,3%[2].
“Dalam kasus yang akut, anak dengan rinitis dapat berpotensi mengalami gangguan penyakit penyerta (komorbiditas) lainnya seperti asma, pembesaran tonsil, dan infeksi telinga atau otitis. Penyakit rinitis apabila dibiarkan akan mempengaruhi tumbuh kembang optimal anak, terutama jika rinitis yang dialami berkembang menjadi rhinosinusitis dan komorbiditas lainnya,” ungkap dr. Darmawan Budi Setyanto Sp.A(K) yang hadir sebagai pembicara.
Rinitis sangat berpotensi mengganggu karena anak menjadi rewel dan sulit tidur, sehingga akan mengganggu kualitas tidur anak dan orang tuanya. Meskipun tidak tergolong sebagai penyakit yang mematikan, rinitis dapat mengurangi produktivitas dan kualitas hidup keluarga, sekaligus berpotensi menimbulkan beban ekonomi tambahan[3].
“Dalam menangani rinitis, anak perlu diberikan terapi yang komprehensif, dalam bentuk terapi oral dan terapi topikal. Salah satu cara untuk menangani gejala hidung tersumbat adalah dengan diberikannya terapi topikal yang dapat secara singkat (kurang dari 10 menit), langsung memberikan efek hidung lega pada anak melalui pemberian oxymetazoline drop.” ungkap Prof Chua H. Antonio. Selain itu kami juga ingin mensosialisasikan tren cuci hidung pada anak sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit rhinitis,” jelas dr. Wahyuni Indawati, Sp.A(K).
“Merck Pediatric Forum 2018 juga sejalan dengan komitmen global Merck WE100 untuk membantu meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat agar hidup lebih panjang dan sehat melalui kegiatan edukasi, baik melalui edukasi praktisi medis maupun edukasi masyarakat umum. Kami percaya bahwa kesehatan anak akan meningkatkan kualitas kehidupan keluarga dan bangsa,” tutup dr. Ashley.