Penanganan Anak Tuna Rungu dan Tuna Wicara

Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa satu dari seribu bayi yang lahir mengalami tuli (tuna rungu) dan bisu (tuna wicara). Tentunya ini merupakan fakta yang mencemaskan bagi Moms & Dads, karena jika tidak terdeteksi lebih awal, akan banyak generasi penerus yang mengalami kondisi ini.
Bayi terlahir tuli dan bisu bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Bisa terjadi akibat faktor genetika (keturunan); perkawinan antar kerabat yang terlalu dekat, seperti antar sepupu kandung sehingga terjadi mutasi gen yang tidak wajar; bisa juga karena faktor lainnya seperti adanya infeksi akibat virus pada mommy hamil, terutama di masa 3 bulan pertama, seperti virus toksoplasmosis, herpes atau sipilis. “Namun hampir 50 persen anak-anak yang mengalami tuli dan bisu mendapatkan kondisi tersebut karena keturunan,” ungkap Aida Sari, M.Pd dari Sekolah Luar Biasa Kartini di Lampung.
Jadi kalau Moms & Dads memiliki orangtua yang mengalami tuli dan bisu, memang perlu merasa khawatir. Karena jika bisu dan tuli yang dialami orangtua Mom&Dad disebabkan oleh faktor genetika (keturunan), ada kemungkinan Mom&Dad juga memiliki gen pembawa tuli dan bisu (carier). Artinya, si kecil ada kemungkinan mengalami kondisi serupa. Seandainya si kecil tidak mengalami tuli dan bisu, tetapi bisa saja mewariskan gen tersebut kepada anak-anaknya kelak.
Penanganan Tuna Rungu Agar Tidak Menyebabkan Tuna Wicara
Sebenarnya jika diketahui penyebab pastinya, penyakit tuli bisa disembuhkan dengan terapi dan penanganan yang tepat. Penanganan tersebut bisa berupa implantasi koklea (rumah siput), atau dengan alat bantu pendengaran. Juga dapat diketahui penyebab tuli hanya bersifat sementara ataupun kronis (lama).
Seperti dijelaskan oleh Aida Sari, M. Pd, pemeriksaan deteksi dini pendengaran pada bayi bisa dilakukan sejak 24 jam setelah bayi lahir. Dokter akan menggunakan alat berupa Oto Acoustic Emmission (OAE) yaitu sejenis alat berbentuk panel yang dilengkapi dengan sebuah saluran yang bisa ditempelkan pada telinga bayi. Tes pendengaran dilakukan menggunakan metode OAE untuk mengetahui fungsi rumah siput atau koklea. Jika tidak lolos dalam pemeriksaan ini, bayi harus kembali menjalani tes serupa ketika berusia satu bulan. “Cek ulang wajib dilakukan untuk mengetahui apakah ada cairan di telinga bayi yang bisa mengganggu pendengaran atau liang telinganya tidak sempurna,” ujar Aida.
Selain itu, dilakukan pula tes BERA untuk memastikan ada tidaknya gangguan pendengaran. “Tes ini juga berfungsi untuk mengetahui tingkat keparahan gangguan yang dialami bayi sehingga bisa segera ditangani. Dengan adanya deteksi dini, mereka yang tuli tidak harus menjadi bisu karena sudah tertangani sejak awal,” jelas Aida lagi.