Mona Ratuliu Syok Diprotes Si Kecil
|“Aku nggak bisa punya ibu kayak Bunda, aku mau pergi aja!” Kalimat ini pernah terlontar dari Davina Syafa Felisa atau Mima, putri sulung Mona Ratuliu. Menghadapi kemarahan putrinya, yang baru berusia 6 tahun saat itu, Mona syok, terduduk lemas, menangis tanpa tahu harus berbuat apa.
“Sekarang saya berterima kasih sekali pada Mima. Dia telah menyadarkan saya. Bayangkan bila saya baru tahu setelah ia berusia 18 tahun misalnya,” tutur Mona Ratuliu dalam Class Meeting Pendidikan, ajang Tupperware SheCAN! Award 2015.
Mom tiga anak ini mengakui karena menikah muda dan langsung punya momongan, ia kebingungan. Mona merasa tidak tahu apa-apa tentang mengurus anak dan sering tidak sepaham dengan suaminya, Indra Brasco.
Kejadian enam tahun lalu itu membuka matanya. Protes Mima membuatnya banyak belajar dari buku, internet sampai para psikolog. Kemarahan Mima ternyata bersumber dari sikap Mona sendiri. Ia sering berbohong, memaksakan kehendak, menyalahkan, menghukum dan membandingkan putrinya dengan anak lain.
“Semua orangtua ingin yang terbaik buat anaknya. Tapi kok anaknya malah suka mengamuk, memaksa, teriak dan mengancam. Saat ikut seminar parenting, saya menyadari banyak sekali kesalahan saya sebagai orangtua,” ujar penggagas milis ParenThink, tempat orangtua berbagi pengalaman ini.
Kini, Mona dan suaminya berusaha menerapkan ajaran Ki Hajar Dewantoro. Orangtua seperti guru, harus bisa menjadi panutan untuk anaknya, menjadi pendamping dan pendukung. Ia juga belajar banyak dari psikolog senior Ibu Elly Risman, salah satunya tentang meminta maaf pada si kecil bila orangtua terlanjur salah.
“Sekarang Mima sudah 12 tahun, kelas 1 SMP. Adiknya, Raka, 6 tahun kelas 1 SD, dan yang kecil, Nala, 3 tahun. Mima sudah masuk usia remaja dan pastinya ada tantangan baru lagi,” papar Mona yang juga concern tentang pengaruh teknologi kepada anak-anaknya.
“Teknologi bagai pisau bermata dua. Positifnya, kita bisa mendapat banyak ilmu dan kemudahan dari sana. Efek negatifnya, anak kurang bersosialisasi dan rentan terkena kejahatan cyber.”
Ia menambahkan, karena orangtua merasakan banyak kemudahan lewat gadget dan internet, mereka begitu saja menularkannya kepada anak. Padahal memanjakan anak dengan teknologi membuat si kecil sulit belajar memahami proses, bersabar, dan berjuang untuk meraih sesuatu.
“Saya sendiri berusaha mengajarkan proses dan bersabar pada anak. Misalkan bila ingin nonton TV, boleh asal ngerjain PR dulu. Mereka harus belajar untuk bertanggung jawab, menghadapi konsekuensi dan mencari solusi. Salah satunya, ada perjanjian bila PR ketinggalan, orang rumah tidak akan mengantarkannya ke sekolah. Saya ingin, anak-anak menjadi orang yang mandiri nantinya, karena orangtua tidak selamanya ada.”