InaSH Mengajak Masyarakat untuk Melakukan Pencegahan Hipertensi Untuk Menekan Beban Ekonomi
|Beban ekonomi akibat komplikasi hipertensi di Indonesia masih tinggi. Tercatat beban biaya penyakit hipertensi mencapai 1497,36 USD per orang per tahun (berdasarkan penelitian di 15 negara berkembang termasuk Indonesia). Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan organisasi lainnya penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap gaya hidup sehat, deteksi dini, dan pengendalian tekanan darah guna mengurangi beban ekonomi yang ditimbulkan. Hipertensi yang tidak dikendalikan dengan baik dapat mengakibatkan kerusakan organ seperti otak, jantung dan ginjal yang menyebabkan disabilitas, kualitas hidup buruk, bahkan kematian. InaSH menghimbau agar masyarakat melakukan pencegahan penyakit hipertensi. dr. Erwinanto, Sp.JP(K), FIHA, Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (Indonesian Society of Hypertension atau InaSH), mengatakan bahwa diagnosis hipertensi ditegakkan jika tekanan darah yang diukur di klinik mencapai 140/90 mmHg atau lebih. Diagnosis hipertensi disebut akurat jika baik pengukuran tekanan darah di klinik maupun di luar klinik menunjukkan tekanan darah yang meningkat dan disebut sebagai true hypertension. Individu yang mempunyai tekanan darah meningkat ketika diukur di klinik tetapi mempunyai tekanan darah normal ketika diukur di luar klinik disebut ‘Hipertensi jas putih (whitecoat hypertension)’. Individu dengan true hypertension perlu terapi obat antihipertensi. Individu dengan whitecoat hypertension, yang jumlahnya dapat mencapai 30% dari mereka yang terdeteksi hipertensi di klinik, tidak perlu terapi obat. Pada saat ini belum ada bukti bahwa terapi obat yang diberikan pada penyandang whitecoat hypertension dapat mencegah penyakit akibat hipertensi seperti penyakit kardiovaskular, stroke atau penyakit ginjal. Walau tidak terlalu akurat, pengukuran tekanan darah di klinik masih menjadi cara satu-satunya untuk penapisan dan diagnosis hipertensi di Indonesia dikarenakan keterbatasan sarana, pengukuran tekanan darah di luar klinik belum banyak dilakukan di Indonesia.
“Terdapat dua pendekatan yang dapat dipilih untuk meningkatkan akurasi diagnosis hipertensi. Pendekatan pertama adalah diagnosis hipertensi dengan menggunakan dua metode pemeriksaan tekanan darah yaitu pemeriksaan di klinik dan di luar klinik secara bersamaan. Pendekatan ini adalah yang paling akurat untuk diagnosis hipertensi tetapi memerlukan penyebaran sarana alat pengukur tekanan darah yang merata di masyarakat. Tampaknya, pada saat ini, pendekatan untuk menegakkan diagnosis hipertensi melalui pemeriksaan tekanan darah di klinik dan di luar klinik belum dapat dipilih menjadi strategi nasional di Indonesia. Pendekatan ini dapat dilakukan secara terbatas di perkotaan bagi mereka yang memiliki alat pengukur tekanan darah di rumah. Pendekatan kedua adalah diagnosis hipertensi menggunakan pemeriksaan tekanan darah di klinik dimana pemeriksaan dilakukan dengan protokol yang baku seperti yang dianjurkan oleh pedoman tatalaksana hipertensi yang ada. Pemeriksaan tekanan darah di klinik pada saat ini terkesan belum mengikuti protokol yang baku. Protokol pemeriksaan tekanan darah yang baku di klinik memerlukan usaha ekstra yang dapat menjadi tantangan jika dilakukan di klinik yang sibuk atau mempunyai tenaga kesehatan yang terbatas. Protokol pemeriksaan tekanan darah dapat dibaca dalam Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi tahun 2018 yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. Agar pengukuran tekanan darah di klinik dapat dilakukan sesuai protokol yang baku diperlukan penyebaran informasi dan pelatihan tenaga kesehatan oleh semua pemangku kepentingan,” jelas dr. Erwinanto, Sp.JP(K), FIHA,.
“Saat ini diperlukan strategi nasional untuk deteksi hipertensi yang akurat di Indonesia. Strategi ini terutama ditujukan untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah di klinik sesuai protokol yang baku dengan cara penyebaran informasi dan pelatihan tenaga kesehatan tentang tata cara pemeriksaan tekanan darah yang benar oleh semua pemangku kepentingan,” tambahnya.
dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, Sp.JP(K), Ketua Panitia The 18th Annual Scientific meeting of Indonesian Society of Hypertension (InaSH) 2024, pada kesempatan yang sama mengatakan, “Acara ilmiah InaSH ke-18 kali ini akan membahas tentang capaian dan perkembangan terakhir mengenai tata laksana hipertensi. Bahasan utama tetap mengenai penelitian terkini untuk terapi, diagnosis dan pencegahan kerusakan organ target. InaSH kali ini melibatkan pembicara dari dalam dan luar negeri seperti tahun-tahun sebelumnya dan tetap akan menampilkan produk ilmiah dari Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia berupa konsensus panduan tata laksana hipertensi yang sulit dikontrol. Hal ini merupakan bukti komitmen InaSH untuk tetap memberikan arah terapi bagi seluruh dokter ini Indonesia demi kesehatan pasien hipertensi. Hal ini didasari berdasarkan laporan BPJS di tahun 2023, dari 23 juta peserta JKN yang di telah menjalani skrining riwayat kesehatan, sekitar 8 persen diantaranya berisiko menderita hipertensi”.
Ia mengemukakan, “Hipertensi yang tidak tertangani akan menimbulkan kerusakan di organ lain termasuk otak dan ginjal. Bisa dibayangkan biaya kesehatan yang akan sangat membengkak apabila sampai terjadi gangguan di tiga organ sekaligus. Harus diingat juga bahwa penyakit jantung, ginjal dan otak termasuk 8 penyakit katastropik dengan klaim BPJS terbesar di Indonesia. Dengan demikian, pencegahan adalah salah satu langkah tepat agar pasien tetap sehat, dapat produktif dan tidak memberikan beban kepada keluarga, masyarakat dan negara.”
dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S, Wakil Ketua InaSH, mengatakan, ”Tanpa disadari hipertensi dapat merusak organ selama bertahun tahun sebelum ada gejala. Apabila tidak diobati hipertensi dapat menyebabkan disabilitas, kualitas hidup buruk, hingga kematian karena kerusakan organ target seperti otak, jantung dan ginjal. Pembuluh darah pada orang sehat bersifat lentur, kuat dan elastis, permukaannya bersih dan licin sehingga darah mengalir bebas dan lancar untuk mensuplai oksigen dan nutrien ke organ vital.”
Tentang dampak hipertensi terhadap kerusakan susunan saraf, dr. Eka menjelaskan, “Hipertensi dapat menyebabkan Transient Ischemic Attack (TIA) atau stroke minor yang terjadi karena terganggunya aliran darah ke otak dalam waktu singkat akibat adanya penyumbatan di pembuluh darah. Selain itu, hipertensi merupakan faktor risiko utama penyebab stroke. Menurut berbagai penelitian hipertensi ditemukan pada 60-70% kasus stroke. Hipertensi akan menyebabkan kerusakan endotel dinding pembuluh darah arteri yang akan menginisiasi proses atherosklerosis. Hipertensi menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah, akibat berkurangnya aliran darah sehingga suplai oksigen dan nutrien tidak cukup, menurunkan neurotransmiter akan menyebabkan kerusakan sel neuron. Pasien yang pernah mengalami stroke berisiko menjadi demensia yang dikenal dengan demensia vascular. Selain berdampak langsung kepada susunan saraf, hipertensi juga bisa terjadi akibat komplikasi hipertensi pada organ lain yang terjadi lebih dulu seperti atrial fibrilasi, infark miokard dan gagal jantung.”
“Upaya preventif terhadap kerusakan saraf yang harus dilakukan pada pasien hipertensi adalah menurunkan tekanan darah sesuai target yang telah ditentukan serta mengontrol variasi kenaikan tekanan darah dalam waktu 24 jam, terutama di pagi hari dengan melakukan intervensi gaya hidup dan medikamentosa. Hal yang harus diingat, bahwa faktor risiko stroke bukan hanya hipertensi, sering ditemukan faktor risiko lainnya seperti diabetes, obesitas, dislipidemia yang juga harus ditangani dengan benar. Bila terjadi stroke, harus segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk menangani stroke. Pada kasus stroke iskemik akan dilakukan thrombolisis intravena (IVT) dalam tenggang waktu empat jam tiga puluh menit setelah onset (golden time). Tatalaksana perdarahan otak ditentukan oleh luas dan volume perdarahan serta lokasi perdarahan. Pada kasus perdarahan yang kecil dilakukan tindakan konservatif, dan untuk perdarahan yang luas dibutuhkan tindakan operasi untuk mengevakuasi perdarahan dan bila diperlukan dipasang drainage (VP shunt). Selain itu, Bagi pasien-pasien hipertensi yang mengalami gangguan kognitif dan demensia harus mendapat terapi khusus termasuk berbagai latihan dengan tujuan memperlambat penurunan fungsi dan memperbaiki kualitas hidupnya.” ungkapnya.
dr. Siska Suridanda Danny, Sp.JP(K) FIHA, PIC Konsensus – Kardio mengatakan, “Hipertensi pada organ jantung merupakan kontributor utama terjadinya serangan jantung dan gagal jantung; dua hal yang sering dianggap serupa namun sesungguhnya berbeda, namun keduanya merupakan penyebab kematian tertinggi di bidang kardiovaskular.”
“Serangan jantung adalah suatu kondisi tersumbatnya pembuluh darah koroner (pembuluh yang memberi makan otot jantung) secara mendadak. Proses ini umumnya dimulai dengan adanya faktor risiko kardiovaskular (antara lain hipertensi, diabetes melitus, kadar kolesterol tinggi, dan merokok) yang menyebabkan penumpukan lemak dan pengapuran di dinding pembuluh darah koroner. Seiring dengan waktu, penumpukan ini menjadi semakin tebal, mengganggu aliran dan dapat tiba-tiba menimbulkan terhentinya aliran darah ke otot jantung jantung. Inilah yang kita sebut sebagai serangan jantung,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan, “Gagal jantung merupakan kondisi ketidakmampuan jantung memompa darah ke seluruh tubuh akibat kelemahan otot jantung. Salah satu faktor risiko utama terjadinya hal ini adalah hipertensi. Tingginya tekanan darah di aorta dan arteri besar menyebabkan otot jantung harus bekerja ekstra keras untuk mempertahankan aliran darah ke seluruh tubuh. Jika hal ini berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama, otot jantung akan mengalami penebalan, pelebaran serta gangguan fungsi pompa yang serius.”
“Dalam menghadapi kerusakan organ akibat hipertensi, mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Sebagian besar komplikasi terkait hipertensi ini bersifat ireversibel, dalam arti jika sudah terjadi, tidak bisa diperbaiki kembali fungsinya dan akan rusak secara menetap. Karenanya, tujuan terapi hipertensi bukanlah sekedar untuk menurunkan tekanan darah namun terutama untuk mencegah kerusakan organ. Salah satu kendala dalam hal ini adalah fenomena hipertensi resisten, yakni hipertensi yang tidak tertangani walaupun telah menggunakan kombinasi tiga macam obat atau lebih. Kelompok ini memiliki risiko kematian kardiovaskular yang tinggi sehingga harus mendapatkan perhatian lebih. Dalam dekade terakhir, telah dikembangkan beberapa jenis terapi, baik obat maupun alat, yang ditujukan untuk penanganan hipertensi resisten sehingga ini akan kami angkat dalam konsensus nasional berjudul Panduan Pengenalan dan Tatalaksana Hipertensi Resisten di Indonesia 2024,” tutupnya.