Download!Download Point responsive WP Theme for FREE!

ChildFund International di Indonesia Luncurkan Kajian Mengenai Perundungan Online di Indonesia

Foto : Istimewa
Foto : Istimewa

6 dari 10 remaja di Indonesia mengalami perundungan online (cyberbullying) dengan semakin meningkatnya penggunaan internet selama pandemi berlangsung sampai saat ini, berbagai kegiatan sebagian besar dilakukan melalui daring. Hal ini memicu kasus perundungan online sehingga perlu dilakukan perlindungan untuk anak dari berbagai aspek. Demikian ungkap Hanneke Oudkerk, Country Director ChildFund International di Indonesia, pada acara peluncuran hasil kajian tentang perundungan online serta inisiatif program Swipe Safe di Jakarta pada 15 Desember kemarin.  Guna mendukung upaya pemerintah, ChildFund sebagai mitra pembangunan meluncurkan hasil kajian berjudul “Memahami Perundungan Online dan Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Online terhadap Anak dan Orang Muda di Indonesia.” Penelitian ini mendapat dukungan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia (KPPPA).

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Nahar mengatakan sinergi berbagai pihak sangatlah dibutuhkan dalam memastikan perlindungan anak dan remaja di dunia maya. “Di tengah gempuran adopsi perilaku digital sebagai salah satu dampak pandemi, anak-anak dan remaja menjadi pihak yang rentan mengalami kekerasan, perundungan dan eksploitasi seksual secara online. Oleh karena itu, sinergi lintas sektoral dan multidimensi dari orang tua, lingkungan sekitar, pendidik, pemerintah hingga sektor privat menjadi hal yang krusial demi terwujudnya dunia maya yang aman bagi anak Indonesia,” ujar Nahar.

Pada kesempatan yang sama Direktur KPAPO Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan bahwa upaya menurunkan angka perundungan dan kekerasan online tak terlepas dari menggalakkan literasi digital. “Upaya mendasar yang bisa dilakukan adalah memberikan pemahaman, pengetahuan dan edukasi yang menyeluruh guna meningkatkan literasi digital masyarakat. Edukasi yang diberikan tak hanya sebatas pada definisi maupun faktor-faktor yang berkontribusi pada perundungan namun apa yang bisa dilakukan oleh anak-anak dan remaja ketika mereka mengalami hal tersebut,” jelas Woro.

Spesialis Perlindungan Anak dan Advokasi Childfund International di Indonesia Reny Haning mengatakan bahwa penelitian ini melibatkan 1.610 responden dari kalangan pelajar dan mahasiswa usia 13 – 24 tahun. Mereka berasal dari empat provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Lampung dan Nusa Tenggara Timur.

“Kajian yang berlangsung dari Juli sampai Oktober 2022 ini menemukan 5 dari 10 pelajar dan mahasiswa melakukan intimidasi terhadap orang lain secara online. Sementara 6 dari 10 pelajar dan mahasiswa menjadi korban perundungan online dalam tiga bulan terakhir,” papar Reny.

Anak laki-laki dan perempuan sama-sama berisiko menjadi korban perundungan online. Namun, anak laki-laki memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi pelaku, sementara anak perempuan memiliki peluang lebih tinggi menjadi korban perundungan online. Remaja di bawah lima belas tahun memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi korban (64,5%) dan pelaku (53,5%) dibanding kategori usia lainnya. Reny menyatakan bahwa perundungan online ini bisa meliputi pelanggaran privasi, pengucilan, penguntitan, pencemaran nama baik, pelecehan dan kekerasan seksual dengan ancaman hingga pemerasan.  Tanggapan terhadap perundungan online dilakukan korban dengan mendiskusikan pengalaman mereka dengan teman atau orang lain yang mereka percaya, diikuti dengan pemblokiran akses pelaku ke akun mereka. Keluarga dan teman sebaya.

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa 77,6% responden akan bereaksi ketika menyaksikan perundungan online dengan memperingatkan pelaku, mencegah pelaku mencuri data orang lain, menghibur korban dan sebanyak 45,35% mendorong korban untuk melaporkan perbuatan pelaku.

Dalam kajian ini ChildFund juga berhasil mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perundungan online, di antaranya:

  1. Paparan perundungan tradisional (luring). Adanya kemungkinan pelaku perundungan tradisional melakukan perundungan secara online/daring dan di sisi lain, korban perundungan tradisional cenderung menjadi pelaku perundungan online.
  2. Pengawasan orang tua. Keaktifan orang tua dalam mengawasi kegiatan anak di dunia maya turut berkontribusi pada keterlibatan anak dalam melakukan perundungan online. Semakin minim pengawasan orang tua maka semakin tinggi peluang anak melakukan perundungan online.
  3. Norma kelompok dan kepemilikan kelas berimbas pada perundungan online. Responden melihat keterlibatan teman mereka melakukan perundungan online sebagai norma dalam berinteraksi secara daring sehingga mendorong mereka untuk melakukan hal serupa.
  4. Paparan konten berbahaya di internet. Terpaan konten negatif/berbahaya akan berdampak positif pada perilaku perundungan online karena memengaruhi persepsi kekerasan bagi remaja. Selain itu, jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia dan menjadi penggemar K-POP turut berkontribusi terhadap online.

Sebagai langkah nyata untuk membantu kaum muda menavigasi dunia maya dengan lebih baik, ChildFund mengembangkan dua inisiatif baru di Indonesia yakni, Program Swipe Safe dan Kampanye Web Aman dan Bijaksana Web (Web Safe and Wise).

“Melalui program ini, kami berupaya meningkatkan kesadaran dan kapasitas anak, orang tua dan pemangku kepentingan akan risiko daring dan mengajak semua pihak untuk melindungi anak-anak dan remaja dari bahaya perundungan online. Kami percaya bahwa inisiatif keamanan online ini akan meningkatkan lingkungan perlindungan bagi kaum muda secara luring dan daring,” tutup Reny.

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *