Cara Atasi Penyakit Herpes Di Masa Pandemi Covid-19
|Di masa pandemi, secara umum daya tahan tubuh cenderung mengalami penurunan sehingga lebih mudah terkena oleh virus. Salah satunya penyakit Herpes Zoster (HZ) yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui pertukaran udara. HZ juga dikenal sebagai shingles, cacar ular, atau cacar api, yaitu suatu sindrom khas yang disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster (VZV). Virus ini merupakan virus yang sama yang menyebabkan cacar air. Salah satu dampak penyakit ini yang sangat mengganggu yaitu rasa nyeri berkepanjangan yang dikenal sebagai Neuralgia Pasca Herpes (NPH). Namun demikian, jika diobati secara cepat dan tepat, harapan kesembuhan HZ akan meningkat.
Anthony Handoko, SpKK, FINSDV, CEO Klinik Pramudia dalam Virtual Media Briefing hari ini mengatakan, “HZ terutama terjadi pada kelompok usia 45-64 tahun. Namun, saat ini tren kasus HZ cenderung terjadi pada usia yang lebih muda dan lebih sering terjadi pada wanita. Kira-kira 30% populasi pernah mengalami HZ semasa hidupnya. Sedangkan insiden kasus NPH sekitar 10-40% dari kasus HZ. Semakin tinggi usia saat terkena HZ, semakin besar terjadinya komplikasi NPH.”
Pada dasarnya, yang pernah menderita cacar air punya risiko besar untuk Herpes Zoster. Namun, risiko besar ada pada orang yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah (imunokompromais), seperti lansia, penderita HIV/AIDS, pasien transplantasi organ, penderita kanker, stress psikis, pasien pasca operasi, dan pasien yang minum obat-obat yang dapat menekan sel imun tubuh. Pada pengobatan Kanker misalnya, radiasi atau kemoterapi dapat menurunkan daya tahan terhadap penyakit dan dapat memicu Herpes Zoster.
“Maka, fokus pencegahan terhadap HZ yaitu meningkatkan imunitas tubuh secara umum, serta menghindari kontak terhadap virus dari penderita HZ. Gejala awal bersifat tidak spesifik, sebelum muncul tanda nyata pada kulit (ruam merah dan lenting berisi air) biasanya hanya berupa rasa lelah, sakit kepala dan lemas (disebut gejala pro-dormal) yang berlangsung selama 1-5 hari,” jelas dr. Anthony.
Vaksin pada dasarnya hanya digunakan sebagai strategi pencegahan. Sedangkan untuk pengobatan, perlu dilakukan secara cepat dan tepat sesuai dengan dokter anjuran dokter. Pada praktiknya, dr. Anthony menjelaskan terapi HZ dikenal dengan strategi 6A: Attract patient early (deteksi dini), Asses patient fully (menilai kondisi pasien secara lengkap), Antiviral therapy (obat anti virus), Analgetik (obat anti nyeri), Antidepressant/anticonvulsant (obat anti deperesi/kejang), dan Allay anxieties-counselling (informasi dan edukasi konseling). Selain 6A tersebut, diberikan terapi topikal (obat oles) dan terapi suportif, seperti istirahat yang cukup dan menjaga kebersihan, anjuran tidak menggaruk dan menggunakan pakaian yang longgar untuk kenyamanan.
“Selain itu, NPH juga perlu mendapatkan terapi khusus baik lewat obat-obatan maupun nonobat. Hal ini bertujuan mengobati nyeri pasien untuk memperbaiki kualitas hidup pasien secara fisik dan psikologis, sehingga pasien dapat segera dapat melakukan aktivitas seharihari. Bisa pula ditambahkan rujukan ke dokter spesialis bidang lain, seperti dokter spesialis mata, THT dan syaraf, jika HZ sudah menyebar ke bagian tubuh tertentu dan akhirnya menyebabkan komplikasi,” tutup dr. Anthony.