Download!Download Point responsive WP Theme for FREE!

Bijak dalam Penggunaan Antibiotik untuk Menurunkan Risiko Terjadinya Resistensi Antimikroba

Foto : Istimewa
Foto : Istimewa

Di dunia kesehatan, penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi oleh dokter dapat memicu meningkatnya angka resistensi antimikroba (AMR). Kebijakan peresepan, penjualan serta pengkonsumsian antibiotik yang bijak harus semakin didesak di Indonesia, Karena hal ini membuat AMR menjadi salah satu dari 10 ancaman kesehatan global yang berbahaya di dunia. Dampak dari AMR ialah sulitnya penyembuhan penyakit dan semakin tingginya biaya kesehatan.

Indonesia One Health University Network (INDOHUN) bekerja sama dengan Pfizer Indonesia dalam mengadakan Webinar, dengan rangka peringatan World Antibiotic Awareness Week 2021. Bertemakan #TUNTASBERITUNTASPAKAI: Kebijakan Peresepan dan Praktik Penjualan dan Konsumsi Antibiotik di Indonesia. Seminar ini ditujukan kepada para akademisi, praktisi, klinisi, dan masyarakat umum agar semakin sadar, peduli, dan tergerak untuk berkontribusi dalam menekan laju kasus resistensi antimikroba di Indonesia.

Prof. dr. Agus Suwandono, MPH., Dr.PH. selaku Koordinator INDOHUN dalam sambutannya pada webinar hari ini mengatakan, “Berdasarkan data dari WHO, selama 15 tahun terakhir, penggunaan antibiotik meningkat sampai 91% secara global dan di negara berkembang sendiri meningkat hingga 165%. Peningkatan tajam ini membuat AMR masuk ke dalam 10 ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia dan perlu ditangani dengan baik.

Salah satu faktor pemicu AMR ialah banyaknya penjualan antibiotik tanpa resep yang di rekomendasikan dokter yang sering terjadi di Indonesia. Padahal peraturan mengenai penjualan obat antibiotik telah diatur dalam UU Obat Keras tahun 1949 di mana disebutkan bahwa yang berwenang untuk meresepkan obat antibiotik hanyalah Dokter, Dokter Gigi, dan Dokter Hewan.

UU Obat keras tersebut dijelaskan bahwa obat keras adalah obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik, mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak. Selain itu disebutkan juga bahwa pada bungkus luar obat keras harus dicantumkan tanda khusus ini berupa kalimat ‘Harus dengan resep dokter’ yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977

Dr. dr. Harry Parathon, Sp.OG(K), Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI Periode 2014-2021, dalam presentasinya mengatakan, ““Untuk menghambat laju AMR, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Penatagunaan Antimikroba (PGA) yang didasari oleh Permenkes no 8/2015 tentang implementasi PPRA di rumah sakit, yang bertujuan untuk meningkatkan kesembuhan pasien, mencegah dan mengendalikan resistansi antimikroba, menurunkan angka kejadian rawat inap berkepanjangan, dan menurunkan kuantitas penggunaan antimikroba. Tim dari PGA ini berfungsi untuk membantu pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam menerapkan penggunaan antimikroba secara bijak dan mendampingi dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dalam menetapkan diagnosis penyakit infeksi, memilih jenis antimikroba, dosis, rute, saat dan lama pemberian”

Prof. dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK(K), Guru Besar FKKMK Universitas Gadjah Mada, mengatakan, “Di Indonesia, antibiotik dipercaya sebagai obat yang manjur untuk segala jenis penyakit mulai dari demam sampai nyeri sendi. Antibiotik dapat dibeli di apotek, toko obat, dan bahkan warung yang tersebar di seluruh Indonesia. Masyarakat seringkali membeli obat di tempat-tempat ini sebagai bentuk pertolongan pertama pada penyakit ringan karena letaknya yang strategis, terpercaya, dapat diperoleh pada malam hari, dan memberikan akses yang mudah kepada obat-obatan esensial seperti antibiotik. Obat-obat ini seringkali dijual tanpa resep. Pasien menganggap bahwa pengobatan mandiri dengan membeli obat di apotek atau toko obat lebih mudah dan hemat biaya. Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat permintaan antibiotik sangat tinggi. Di sisi lain, antibotik dapat dibeli dengan mudah, sehingga dapat menjadi pemicu berkembangan Antimicrobial Resistance (AMR) di Indonesia.”

Tidak hanya itu, Prof Tri Wibawa menjelaskan bahwa penelitian yang telah dilakukan pada apotek dan toko obat di daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia, menemukan bahwa masyarakat dapat membeli antibiotik tanpa resep (proporsinya dapat mencapai dua dari tiga kunjungan). Meskipun antibiotik lini pertama seperti amoksisilin dan kotrimoksazol adalah antibiotik yang paling banyak diberikan, ada kekhawatiran bahwa antibiotik lini kedua termasuk sefalosporin juga diberikan tanpa resep.

Untuk dapat mengatasi persoalan tersebut ialah dengan penguatan implementasi regulasi untuk mengendalikan peredaran antibiotik yang dapat memicu resitensi antibiotik. Serta masyarakat umum untuk saling mengingatkan, sadar, peduli, dan tergerak untuk berkontribusi bahwasannya penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi oleh dokter dapat menekan laju kasus resistensi antimikroba di Indonesia.

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *