Personalised Medicine Sebagai Pengobatan Kanker Kolektoral
|Pengobatan kanker saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan perkembangan dalam teknologi kedokteran baik dalam bidang diagnosis maupun pengobatan. Personalised medicine merupakan perkembangan pengobatan kanker yang sudah semakin canggih saat ini yang didasarkan atas ilmu pengetahuan kedokteran yang valid. Tepatnya pada terapi untuk kanker, termasuk di dalamnya Kanker Kolorektal (KKR).
Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak di dunia dan penyebab kematian kedua terbanyak (terlepas dari gender) di Amerika Serikat. Data WHO memperkirakan ada 1.849.518 kasus baru KKR dan 880.792 kematian terkait KKR pada tahun 2018. Insiden kanker kolorektal di Indonesia berdasarkan data Globocan 2012 sebesar 12,8 per 100.000 penduduk usia dewasa, dengan mortalitas 9,5% dari seluruh kasus kanker. Saat ini, kanker kolorektal di Indonesia menempati urutan nomor 3. Faktor penyebab KKR yaitu sekitar 70% kasus KKR dipengaruhi oleh faktor lingkungan termasuk kebiasaan makan, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol. Sekitar 25% dari kasus KKR memiliki kecenderungan genetik, dan 5% dari pasien KKR memiliki faktor keturunan yang terkait dengannya perkembangannya.
Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, Sp.PD-KHOM, M.Epid, FINASIM, FACP, Konsultan Hematologi Onkologi Medik FKUI-RSCM pada Virtual Media Briefing hari ini menjelaskan, “Pengobatan kanker saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan perkembangan dalam teknologi kedokteran baik dalam bidang diagnosis maupun pengobatan. Akibatnya terjadi perubahan besar-besaran dalam diagnosis dan pengobatan kanker pada umumnya dan pengobatan kanker kolorektal pada khususnya. Pengobatan kanker kolorektal dapat dibagi menjadi 3 klasifikasi pengobatan yaitu pengobatan pada kondisi lokal (awal), lokal lanjut (menengah) dan metastasis (lanjut). Kondisi lokal dan lokal lanjut ini didekati melalui tindakan operasi dilanjutkan dengan kemoterapi tambahan atau pada kanker rectum juga seringkali ditambahkan juga radioterapi atau penyinaran. Sedangkan pada kondisi metastasisi, didekati melalui tindakan kemoterapi sebagai pengobatan utama, operasi hanya dilakukan pada kondisi penyebaran kanker di satu lokasi dan tidak banyak dan berukuran kecil serta bisa dioperasi atau hanya untuk membuat kantong penampung feses di sekitar perut dengan mengeluarkan kolon atau usus besar ke perut untuk mendiversi atau mengalihkan aliran kotoran ke kantong (kolostomi).
Dalam dekade terakhir ini, kemoterapi bukanlah satu-satunya obat yang diberikan untuk pasien kanker kolektoral stadium lanjut. Adanya obat-obatan lain yang dikelompokkan dalam terapi target sebagai tambahan pada kemoterapi yang diberikan untuk menambah efektifitas pengobatan yang pada akhirnya diharapkan memperpanjang ketahanan hidup pasien kolorektal yang sudah bermetastasis jauh. Pasien kanker kolorektal yang sudah bermetastasis jauh semestinya mendapatkan pengobatan dalam rangka paliatif dan memperpanjang ketahanan hidup yang berkualitas. Oleh karena itu, dunia kedokteran berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan berbagai obat yang dapat mencapai tujuan tersebut,” lanjutnya.
“Personalised medicine pada kanker kolorektal telah memberikan ketahanan hidup yang lebih panjang bagi pasien kanker kolorektal yang bermetastasis. Sayangnya obat-obatan ini masih mahal harganya dan belum bisa dijangkau oleh sebagian besar pasien kanker kolorektal. Meskipun demikian, pengetahuan tentang hal ini perlu menjadi pengetahuan masyarakat agar mengerti perkembangan pengobatan kanker yang sudah semakin canggih saat ini dan tidak berpaling ke pengobatan kanker yang lain yang bukan didasarkan atas ilmu pengetahuan kedokteran yang valid,” lanjutnya.
Pembuatan obat kanker merupakan proses panjang penelitian dimulai dari laboratorium, penelitian pada hewan coba, sejumlah kecil pasien yang sudah diberikan penjelasan dan sejumlah besar pasien yang telah diberi penjelasan dan setuju mengikuti penelitian serta adanya survey pasar ketika obat telah dipasarkan. Kesemua proses tersebut harus melalui uji etik penelitian oleh lembaga yang kredibel sesuai deklarasi Helsinki. Kesemuanya adalah demi keselamatan, keamanan pasien dalam pengobatan serta untuk mendapatkan hasil maksimal yang dianggap sahih dan bermakna. Akhirnya, harga merupakan akibat logis dari pembuatan obat kanker yang melalui penelitian yang panjang,” tutupnya.