Si Kecil Dengan Low Vision Pun Bisa Membaca
|Si kecil suka menonton televisi atau melihat gadget dari jarak sangat dekat? Atau ia sering tersandung dan menabrak benda-benda di sekitarnya? Coba deh, Moms & Dads tes daya penglihatannya. Siapa tahu ia memiliki keterbatasan penglihatan atau low vision.
Low vision berbeda dengan masalah mata myopia (rabun jauh atau minus) maupun rabun dekat. Kondisinya tidak dapat dikoreksi hanya dengan memakai kacamata minus atau plus biasa. Penyebabnya pun bisa beragam, mulai dari faktor genetik hingga berbagai penyakit seperti glaucoma dan katarak. Bila disebabkan katarak, daya penglihatan dapat kembali normal setelah pembedahan. Tapi untuk pasien glaucoma, ia akan berangsur mengalami kebutaan.
Evie Tarigan, Ketua Umum LAYAK Foundation, LSM yang fokus pada masalah low vision, HIV dan human trafficking, menjelaskan, ”Low vision menyebabkan terbatasnya kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Kondisi ini tidak sama dengan buta. Meski tidak dapat ditangani lagi secara medis, penderitanya dapat didukung untuk bisa memaksimalkan fungsi penglihatan.”
Melalui program Seeing is Believing (SiB) yang digagas Standard Chartered Bank, LAYAK ingin membantu anak-anak dengan gangguan penglihatan untuk mendapatkan akses layanan yang berkualitas dan mudah dijangkau. Bukan hanya secara medis, tetapi juga akses pendidikan agar dapat mandiri dan hidup lebih baik.
“Daya penglihatan 5-10 cm saja masih bisa bermanfaat untuk mereka. Mereka perlu belajar membaca tulisan biasa, bukan hanya Braille, agar dapat mengakses informasi yang lebih luas. Sayangnya, anak dengan low vision sering divonis tidak bisa melihat lagi dan langsung bersekolah di SLB A, yang khusus untuk tuna netra,” tutur Evie.
Diva, 10 tahun misalnya, mengalami keterbatasan penglihatan sejak lahir. Berkat program SiB, setahun terakhir ini ia lebih lancar membaca dan menulis dengan alat bantu kacamata pembesar atau magnifier. Ia mengaku senang dan bersemangat ketika diminta menuliskan namanya dalam selembar kertas. Ibunya, Nining, menjelaskan Diva mengalami low vision karena faktor genetik.
“Saya dan suami sama-sama tuna netra. Diva sejak lahir sudah terdeteksi mengalami gangguan penglihatan dan bersekolah di SLB A. Tapi tahun depan ia sudah bisa pindah ke sekolah inklusi,” tutur Nining saat ditemui di Pusat Pelatihan Yayasan Pendidikan Dwituna Rawinala Jakarta.
Berbeda dengan Diva, putra pertama Nining mengalami masalah penglihatah akibat glaucoma, yang telah berkembang menjadi kebutaan. Kondisi awalnya memungkinkan ia menempuh pendidikan di sekolah biasa. Bahkan saat duduk di bangku SMP negeri, ia mampu meraih peringkat 2 terbaik dari 39 murid di kelasnya.
“Saat membawa anak saya ke sekolah umum, gurunya tanya, ‘saya harus bagaimana mengajarnya?’ Saya bilang, ‘biasa saja, nanti biar saya yang menyesuaikan,’ dan mereka mau menerima. Saya rasa sangat perlu kerjasama terpadu semua pihak, baik pihak medis, sekolah maupun keluarga,” ujar mom 44 tahun ini.
Kendala dari para pendidik juga disadari oleh LAYAK. Itu sebabnya SiB menjalankan program Training for Trainer agar semakin banyak tenaga terlatih yang mampu mendeteksi dini low vision dan membantu memfungsikan daya penglihatan mereka dengan beragam tools, seperti papan membaca, kaca pembesar, hingga teleskop kecil untuk mengikuti pelajaran di kelas. Saat ini, program SiB telah bekerja sama dengan banyak rumah sakit dan sekolah di Jabodetabek serta Universitas Hasanuddin di Sulawesi Selatan.