Nokturia dan Nokturnal Enuresis Dapat Menurunkan Kualitas Hidup
|Pengeluaran urin selama tidur pada dewasa (Nokturia) dan pada anak (Nokturnal Enuresis) ketika ada gangguan perlunya untuk berkonsultasi ke dokter karena hal tersebut jika didiamkan akan menurunkan kualitas hidup. Masalah ini dibahas oleh Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI) dan Indonesian Society of Female and Functional Urology (INA-SFFU) pada Virtual Press Conference tanggal 18 Desember 2020 dalam rangka Pertemuan Ilmiah Tahunan Asosiasi Urologi Indonesia.
Dr.dr. Nur Rasyid, SpU (K), Ketua Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI) dalam sambutannya pada Virtual Press Conference mengemukakan, “Pertemuan Ilmiah Tahunan Asosiasi Urologi Indonesia (ASMIUA) merupakan acara tahunan yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI), bertujuan untuk menjadi wadah dokter khususnya dokter spesialis urologi untuk mendapatkan update utama di bidang pernyakit urologi serta pengelolaannya dan juga memberikan info terobosan pengembangan teknologi baru dalam praktik urologi. Acara tahun ini adalah edisi ke-43 ASMIUA, dan merupakan edisi ke-1 diselenggarakan secara penuh virtual melalui platform online dikarenakan situasi pandemi yang belum kunjung usai. Rangkaian acara yang akan diadakan yakni masterclass sesuai cabang keseminatan urologi, simposium, poster dan presentasi ilmiah, serta rapat keanggotaan tahunan.”
Harrina Erlianti Rahardjo, SpU (K), PhD, Ketua Indonesian Society of Female and Functional Urology (INASFFU) dalam presentasinya memaparkan, “Nokturia didefinisikan sebagai berapa kali seseorang berkemih dalam periode tidur utamanya, saat seseorang terbangun dari tidurnya untuk berkemih pertama kali dan setiap berkemih selanjutnya harus diikuti tidur atau keinginan untuk tidur. Semua harus dicatat pada catatan harian berkemih. Pada studi prevalensi dan faktor risiko nokturia di Indonesia yang melibatkan 1555 subyek dari 7 kota di Indonesia menunjukkan prevalensi nokturia sebesar 61,4%, dimana dari total prevalensi nokturia tersebut 61,4% dilaporkan pada laki-laki dan 38.6% pada perempuan. Rerata usia pada penelitian tersebut adalah 57 (18-92) tahun dan nokturia didapatkan terbanyak pada kelompok umur 55-65 tahun.”
Nokturia dapat mempengaruhi kualitas hidup jika tidak diatasi dengan tepat yang nantinya akan menyebabkan masalah sosial bahkan ekonomi bagi penderita. Penyebab penyakit ini misalnya pada laki-laki karena obstruksi infra vesika seperti penyakit prostat, sedangkan pada perempuan seperti gangguan kontraksi kandung kemih, komplikasi DM, kelainan neurologis, kelainan hormonal dan bisa hanya disebabkan karena pola minum atau berkemih yang salah. Terkait hal ini, pengurus pusat IAUI dan anggota INA-SFFU membuat pedoman baru untuk diagnosis dan tatalaksana nokturia ini yang nantinya diharapkan dapat membantu dokter spesialis, dokter umum dan tenaga kesehatan lain untuk melakukan pendekatan, menegakkan diagnosis, dan merencanakan terapi nokturia dari berbagai aspek sehingga dapat tercapai perbaikan gejala dan kualitas hidup.
Intervensi gaya hidup yang dapat dilakukan yakni pembatasan garam, protein dan kalori untuk pencegahan terhadap obesitas dan diabetes serta membatasi asupan cairan di sore dan malam hari (terutama antara makan malam dan waktu tidur). Adapun membatasi asupan yang mengandung alkohol dan kafein juga diperlukan serta diet dengan kalori seimbang. Latihan kandung kemih dan otot dasar panggul untuk nokturia yang disebabkan oleh kandung kemih overaktif dan pembesaran prostat juga terbukti memperbaiki keluhan pasien. Penyesuaian waktu konsumsi obat-obatan yang memperbanyak pengeluaran urine (misalnya: diuretik) dan meninggikan tungkai bawah setelah makan sampai waktu tidur dan menggunakan stoking kompresi untuk mengurangi bengkak di tungkai bawah dan mata kaki juga dapat mengurangi gejala. Mengingat penyebab nokturia yang sangat banyak, maka diperlukan terapi terhadap penyakit atau kebiasaan yang menjadi penyebab: kandung kemih overaktif (OAB), pembesaran prostat, menopause, gangguan tidur, gangguan psikologis dan diet.
Pemberian obat dilakukan jika terapi lini pertama seperti intervensi gaya hidup, latihan kandung kemih dan otot dasar panggul tidak menghasilkan perbaikan gejala. Keputusan pemberian obat, yaitu desmopresin mempertimbangkan usia, jenis kelamin, fungsi ginjal, kelainan jantung, kadar natrium (garam) dalam darah, kebiasaan minum, dan pengobatan yang sedang dikonsumsi pasien. Setelah pemberian desmopresin diperlukan evaluasi berkala gejala klinis dan efek samping obat.
Dapat dilakukan terapi alarm yang memiliki tingkat keberhasilan hampir sama dengan pemberian obat, dimana saat celana anak basah akibat mengompol, maka alarm akan berbunyi yang menyebabkan anak akan terbagun dan harus pergi ke kamar mandi. Tentunya peran orang tua sangat penting pada terapi ini. Terapi dianggap berhasil jika anak tidak mengompol selama 1 bulan tanpa pemaikaian alarm, dan kebanyakan akan membuahkan hasil yang baik setelah 3-4 bulan terapi,