Kurangnya Akses Pengobatan Kanker Paru Di Indonesia Pada Masa Pandemi
|Kanker paru masih menjadi kanker dengan angka kematian tertinggi di antara semua jenis kanker lainnya. Merujuk pada data GLOBOCAN 2020, kematian karena kanker paru di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 18% selama dua tahun terakhir menjadi 30.843 orang dengan kasus baru mencapai 34.783 kasus. Situasi ini mengindikasikan bahwa di Indonesia terdapat empat orang meninggal akibat kanker paru setiap jam dan berpotensi untuk meningkat setiap harinya jika kanker paru tidak dijadikan prioritas nasional.
Keberhasilan penatalaksanaan pengobatan kanker paru di Indonesia tergantung dari adanya akses pasien terhadap diagnosis yang tepat dan pengobatan inovatif yang berkualitas. Sayangnya, saat ini para pemangku kepentingan di sektor kesehatan tengah mengalokasikan sebagian besar fokus mereka terhadap pemulihan kesehatan nasional yang terdampak pandemi. Di sisi lain, situasi ini juga berdampak terhadap pelayanan pasien kanker, termasuk kanker paru, yang memperoleh peningkatan beban dan risiko, baik kepada penderita maupun kepada petugas medis dan pelayanannya.
Dr. Sita Laksmi Andarini, PhD, Sp.P(K) selaku Anggota Pokja Onkologi Toraks Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengatakan, “Dalam meningkatkan kualitas hidup pasien yang lebih baik, pengobatan kanker paru telah tersedia di Indonesia dengan mengikuti panduan tatalaksana kanker paru dari PDPI sesuai dengan pedoman internasional, termasuk pembedahan, radioterapi, kemoterapi, terapi target, dan imunoterapi. Terobosan dalam teknologi penanganan kanker paru terus berkembang dan tersedia di Indonesia dapat meningkatkan rata-rata angka harapan hidup atau median overall survival rate serta kualitas hidup penderita kanker paru di Indonesia sesuai dengan guidelines internasional. Selain itu, pasien kanker paru juga disarankan untuk mengkonsultasikan kebutuhan vaksinasi COVID-19 dengan ahli medis agar mendapatkan penanganan dan pengawasan yang ketat.”
Di situasi pandemi ini, tantangan yang dihadapi oleh pasien kanker paru semakin besar karena merupakan salah satu kelompok rentan terpapar COVID-19 bahkan dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan data Satgas Penanganan COVID-19, sebanyak 1,8% kasus konfirmasi positif memiliki penyakit penyerta kanker, dan sebanyak 0,5% pasien COVID-19 meninggal dengan penyakit penyerta kanker. Dengan risiko tersebut, pasien kanker paru juga membutuhkan vaksin COVID-19 dengan pengawasan medis yang ketat untuk berjuang.
Laporan Keuangan BPJS 2019 menunjukkan hanya 3% dana dari JKN yang telah dialokasikan untuk pengobatan kanker. JKN hanya menjamin pengobatan personalisasi bagi penyintas kanker paru dengan mutasi EGFR positif. Hampir 60% dari penyintas kanker paru memiliki mutasi EGFR negatif dan masih hanya mendapatkan pengobatan kemoterapi. Padahal, pengobatan kanker paru di Indonesia semakin inovatif dalam teknologi dan berstandar internasional, seperti pengobatan imunoterapi. Adanya pengobatan imunoterapi memiliki sistem kerja yang langsung menghambat pertemuan sel imun yang kerap dimanfaatkan oleh sel kanker untuk menghindari serangan dari sistem imun atau daya tahan tubuh.
Ketidakmerataan akses pengobatan kanker paru ini sempat dikeluhkan oleh seorang penyintas kanker paru bahwa proses penyembuhan cukup rumit ditambah lagi masa pandemi yang dimana para penyintas kanker paru harus berjuang dengan risiko paparan Covid-19. Maka ia mengharapkan untuk mengutamakan akses pengobatan kanker paru secara nasional.
Naomi Oktalina Ginting sebagai penyintas kanker paru menyampaikan, “Sebagai pasien kanker paru stadium 3B, saya telah melewati berbagai manis dan pahit saat menjalani prosedur diagnosis dan pengobatan kanker paling mematikan ini. Saya masih melihat bahwa di lapangan masih banyak ketidakmerataan akses pengobatan kanker paru untuk pasien kritis yang berjuang dalam kesakitannya. Dengan penyakit kanker paru yang kami bawa ini, kami harus juga berjuang berdampingan dengan risiko paparan lainnya seperti COVID-19. Oleh karena situasi yang semakin rumit ini, kami sangat mengharapkan akses pengobatan pada pasien kanker paru juga diprioritaskan secara nasional.”